SEJARAH PATUNG TUAN MA LARANTUKA

Ngopi sambil baca kan enakkkkk......
inilah kisahnya....
Dalam tradisi gereja Katolik di Flores Timur, khusunya di Larantuka, 
ibukota Kabupaten Flores Timur, hari Kamis Putih merupakan hari suci 
untuk melakukan kegiatan “tikan turo” atau menanam tiang-tiang lilin 
sepanjang jalan raya yang menjadi rute Prosesi Jumat Agung pada keesokan
 harinya (10/4).
Pada siang hari Kamis Putih itu, Larantuka yang populer dengan 
sebutan kota Reinha Rosari itu, hening mencekam karena sedang dilakukan 
kegiatan “tikan turo” oleh para mardomu (semacam panitia kecil yang 
telah melamar jauh sebelumnya menjadi pelayan) sesuai promesanya 
(nasar).
Ketika itu juga, aktivitas di kapela Tuan Ma (Bunda Maria) dimulai 
dengan upacara “Muda Tuan” (pembukaan peti yang selama setahun ditutup) 
oleh petugas conferia (sebuah badan organisasi dalam gereja) yang telah 
diangkat melalui sumpah.
Arca Tuan Ma kemudian dibersihkan dan dimandikan lalu dilengkapi 
dengan busana perkabungan berupa sehelai mantel warna hitam, ungu atau 
beludru biru.
Umat Katolik yang hadir pada saat itu diberi kesempatan untuk berdoa,
 menyembah, bersujud mohon berkat dan rahmat, kiranya permohonan itu 
dapat dikabulkan oleh Tuhan Yesus melalui perantaraan Bunda Maria (Per 
Mariam ad Jesum).
Sesuai tradisi, keturunan raja Larantuka Diaz Vieira Godinho yang 
membuka pintu Kapela Tuan Ma yang terletak di bibir pantai Larantuka 
itu.
Setelah pintu kapela dibuka, umat setempat serta para peziarah 
Katolik dari berbagai penjuru NTT dan nusantara serta manca negara mulai
 melakukan kegiatan “cium kaki Tuan Ma dan Tuan Ana” dalam suasana 
hening dan sakral.
Sejarah Larantuka sendiri, tidak lepas dari kedatangan bangsa 
Portugis dan Belanda, yang masing-masing membawa misi yang berbeda-beda 
pula.
Bangsa Portugis membawa warna tersendiri bagi perkembangan sejarah 
agama Katolik di Flores Timur, yang meliputi Pulau Adonara, Solor dan 
juga Lembata yang telah berdiri sendiri menjadi sebuah daerah otonom 
baru.
Kala itu, konon, orang Portugis yang membawa seorang penduduk asli 
Larantuka bernama Resiona (menurut cerita legenda adalah penemu patung 
Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih ketika terdampar di Pantai 
Larantuka) ke Malaka untuk belajar agama.
Ketika kembali dari Malaka, Resiona membawa sebuah patung Bunda 
Maria, alat-alat upacara liturgis dan sebuah badan organisasi yang 
disebut Conferia, mengadakan politik kawin mawin antara kaum awam 
Portugis dengan penduduk setempat.
Pada 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama 
Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho yang merupakan tokoh 
pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada 
Bunda Maria Reinha Rosari.
Setelah tongkat kerajaan itu diserahkan kepada Bunda Maria, Larantuka
 sepenuhnya menjadi kota Reinha dan para raja adalah wakil dan abdi 
Bunda Maria.
Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 
Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak
 itulah, Larantuka disebut dengan sapaan Reinha Rosari.
Pada 1954, Uskup Larantuka yang pertama, Mgr Gabriel Manek SVD 
mengadakan upacara penyerahan Diosis Larantuka kepada Hati Maria Yang 
Tak Bernoda.
Selama empat abad lebih, tradisi keagamaan tersebut tetap saja melekat dalam sanubari umat Katolik setempat.
Pengembangan agama Katolik di wilayah itu, tidak lepas dari peranan 
para Raja Larantuka, para misionaris, peranan perkumpulan persaudaraan 
rasul awam (conferia), dan peranan semua Suku Semana serta perananan 
para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema).
Contoh ritual yang terus dilakukan tiap tahun hingga saat ini adalah 
penghayatan agama popular seputar “Semana Santa” dan Prosesi Jumad Agung
 atau “Sesta Vera”.
Kedua ritual ini dikenal sebagai “anak sejarah nagi” juga sebagai ’gembala tradisi’ di tanah nagi-Larantuka.
Ritual tersebut merupakan suatu masa persiapan hati seluruh umat 
Katolik secara tapa, silih dan tobat atas semua salah dan dosa, serta 
suatu devosi rasa syukur atas berkat dan kemurahan Tuhan yang diterima 
umat dari masa ke masa dalam setiap kehidupannya.
Doa yang didaraskan, pun lagu yang dinyanyikan selama masa ini menggunakan bahasa Portugis dan Latin.
Semana Santa (masa pekan suci) adalah istilah orang nagi Larantuka 
mengenai masa puasa 40 hari menjelang hari raya Paskah yang diwarnai 
dengan kegiatan doa bersama (mengaji) pada kapela-kapela (tori) dan 
dilaksanakan selama pekan-pekan suci.
Doa bersama Semana Santa diawali pada hari Rabu Abu (permulaan masa 
puasa) sampai dengan hari Rabu Trewa. Orang nagi Larantuka memaknai masa
 Semana Santa sebagai masa permenungan, tapa, sili dosa dan tobat yang 
dimulai dari hari Rabu atau disebut Rabu Trewa sehari menjelang Kamis 
Putih.
Hari ini merupakan hari penutupan Semana Santa. Selain doa dan 
mengaji di kapela-kapela, pada sore hari diadakan lamentasi (Ratapan 
Nabi Yeremia) di gereja Katedral Larantuka.
Lamentasi dilakukan menurut ritus Romawi jaman dahulu. Pada saat ini,
 Larantuka menjadi “Kota berkabung, sunyi senyap, tenang, jauh dari 
hingar bingar, konsentrasi pada kesucian batin dan kebersihan hidup.
Sehari setelah Kamis Putih yang bertepatan dengan pelaksanaan pemilu 
legislatif pada 9 April 2009, dilanjutkan dengan Prosesi Jumat Agung 
dalam bentuk perarakan menghantar jenasah Yesus Kristus yang memaknai 
Yesus sebagai inti, sedangkan Bunda Maria adalah pusat perhatian, Bunda 
yang bersedih, Bunda yang berduka cita (Mater Dolorosa).
Pada hari Jumat pagi sekitar pukul 10:00 Wita, ritus Tuan Meninu 
(Arca Yesus) dari Kota Rewido digelar. Setelah berdoa di kapela, Tuan 
Meninu diarak lewat laut dengan acara yang semarak nan sakral.
Prosesi laut melawan arus ini berakhir di Pante Kuce, depan istana 
Raja Larantuka dan selanjutnya diarak untuk ditakhtakan pada armada Tuan
 Meninu di Pohon Sirih.
Arca Tuan Ma pun diarak dari kapela-Nya menuju Gereja Kathedral. Pada
 sore hari pukul 15:00 Wita, patung Tuan Missericordia juga diarak dari 
kapela Missericordia Pante Besar menuju armidanya di Pohon Sirih.
Dalam pelaksanaannya, perjalanan prosesi mengelilingi Kota Larantuka 
menyinggahi delapan buah perhentian (armida), yakni Armida 
Missericordia, Armida Tuan Meninu (armada kota), Armida St. Philipus, 
Armida Tuan Trewa, Armida Pantekebi, Armida St. Antonius, Armida Kuce 
dan Armida Desa Lohayong.
Urutan armida ini menggambarkan seluruh kehidupan Yesus Kristus mulai
 dari ke AllahNya (Missericordia), kehidupan manusiaNya dari masa Bayi 
(Tuan Meninu), masa remaja (St. Philipus) hingga masa penderitaanNya 
sambil menghirup dengan tabah dan sabar seluruh isi piala penderitaan 
sekaligus piala keselamatan umat manusia.
Pada Sabtu yang dikenal sebagai Sabtu Alleluya, umat Katolik mengarak
 kembali Tuan Ma dan Tuan Ana dari Gereja Katedral untuk disemayamkan di
 kapelanya masing-masing. Demikian pun halnya dengan patung Tuan 
Missericordia dan Tuan Meninu diarak dari armidanya kembali ke 
kapelanya.
Ketika tibanya Minggu Paskah, dilangsungkan upacara ekaristi di 
gereja masing-masing. Selesai perayaan ekaristi, patung Maria Alleluya 
diarak kembali ke kapela Pantekebis setelah pentakhtaan patung Maria 
Alleluyah, dilakukan sebuah upacara yang disebut “sera punto dama” dari 
para mardomu pintu Tuan Ma dan Tuan Ana yang lama kepada yang baru.
Tradisi keagamaan di Flores Timur yang sudah berlangsung ratusan tahun itu sampai sekarang masih tetap terus dipertahankan.





























